Adalah sebuah
peristiwa patah hati yang menjadikanku terinspirasi dan bangkit lewat tulisan. Adalah
sebuah cerita haru tentang cinta remaja yang menjadikan aku harus bangkit dari
luka dan duka. Bukan sebuah cerita tentang cinta setiga yang seolah sudah hafal
kita membacanya, bukan pula sebuah pengkhianatan cinta atau perselingkuhan, itu
terlalu menyakitkan kurasa. Ini hanya tentang masalah sederhana yang awalnya
kupikir bukanlah sesuatu yang akan bisa menjadikan kita bercerai berai seperti
ini. Hanya tentang perbedaan prinsip dan pandangan. Sesuatu yang kurasa amat
biasa, namun ternyata itulah dasar dari semua hubungan yang ada didunia .
Ketika perbedaan
seolah menjadi sebuah jurang curam yang tak sanggup kita satukan, dengan
keegoisan masing-masing kita mempertahankan pendapat, tanpa ada yang mau
toleran atau mengalah.
Kita memang hanya
sepasang teman dalam tanda kutip, yang dengan lugu sama-sama saling berpikir
untuk tidak pacaran. Namun pernah kita mencoba untuk menyatukan hubungan ini
sama seperti layaknya kawula muda masa sekarang, tapi lagi-lagi itu tak
benar-benar terjadi alias hanya menjadi candaan dalam persahabatan hangat yang
membawa-bawa nama cinta. Kita saling malu kala teman-teman sepermainan kita
memaksa, mendesak, atau mengatai kita telah berpacaran. Kita tidak terima
dengan julukan itu, kita seolah anti dengan kata itu, karena merasa pacaran
akan menjadikan lunturnya solidaritas masa SMA.
Tapi mungkinkan
semua itu salah satu pertanda Tuhan jika kita memang bukanlah jodoh untuk
selamanya? Tuhan menjadikan kita saling bersikukuh untuk tidak
menyatukan perasaan.
Dalam bayang remang-remang ketidak jelasan kalimatmu, kau
pernah bilang akulah istri mu masa depan. Haha, dulu aku berharap besar pada
ucapmu itu, namun kini aku tahu bahwa setiap pria ataupun wanita bisa dengan
mudah mengatakan itu pada pasangannya.
Tuhan, aku benar-benar ingin menangis menatap semua
tempat-tempat itu, bukit itu, semua kenangan-kenangan berlebihan dan ‘alay’
masa remajaku. Dalam canda kami berharap, dalam marah kami berdoa, bahkan dalam
tangis kami saling mengadu, persatuan jiwa yang pertama kali kurasakan dalam
hidupku.
Kala itu aku memang sudah menginjak usia 17 tahun, usia
dimana seorang gadis yang duduk dibangku SMA bisa dikatakan sudah matang dalam
hal cinta monyet. Tapi begitukah dengan ku dan dia? Kenyataan nya tidak, aku
malah baru pertama kali jatuh cinta sedalam itu pada lawan jenisku. Bukan
berarti sebelum nya aku tak pernah jatuh cinta. Namun cintaku yang sebelumnya
tak seperti ini, bahkan seumur hidupku aku tak pernah berpacaran. Mungkin semua
gadis seumuranku akan merasa sedikit kaget mendengar ku belum pernah pacaran,
sedangkan umumnya gadis SMA sudah pernah berpacaran lebih dari 3 kali atau
bahkan sudah belasan kali. Dan ternyata Tuhan mempertemukan aku dengan pria
yang sama tak jauh beda dengan latar belakangku. Dia juga belum pernah
merasakan berpacaran, walau dia memang pernah dekat dengan seorang gadis.
Hah, inilah masa
yang amat membingungkan. Ketika aku kehabisan kata-kata. Aku sedih
mengingat semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar